Toxic Positivity, Niatnya Mau Positive Thinking eh…. Malah Toxic
Positive thinking atau berfikir positif adalah sebuah cara berfikir yang diproses untuk dapat menghadirkan energi positif. Tujuannya agar seseorang dapat berperilaku positif setelah mereka berfikir positif. Disamping begitu banyak manfaat yang ditawarkan dari perilaku berfikir positif, istilah tersebut mendefinisikan sesuatu yang baik seakan tidak ada keburukan di dalamnya.
Begitu pun denganku, tiga tahun
terakhir berusaha menjadi lebih positif .Mencari referensi dari beberapa buku
tentang bagaimana cara always be positive
thinking. Dampaknya benar-benar
baik, disamping merasa lebih tenang menjalani setiap rangkaian kehidupan ,
rasanya lebih mudah menerima ketidak sesuaian antara fakta dengan apa yang
sempat aku ekspetasikan terhadap satu hal.
Namun keinginan merubah diri untuk menjadi pribadi
lebih baik dengan selalu keep positive
thinking, ternyata menghadirkan sebuah pertanyaan besar, kenapa pada
beberapa momentum aku justru merasa tertekan?.
Tekanan yang dimaksud yakni
kondisi dimana aku merasa sangat bersalah ketika kecewa atau marah terhadap
kondisi yang tengah dihadapi. Saat sakit, enggan untuk mengungkapkan kalau aku
merasa sakit dengan dalih harus membangun sugesti positif. Menolak segala
bentuk emosi negatif karena ingin terus positif, hal ini kemudian berdampak
pada perubahan-perubahanku secara psikologis diantaranya menjadi sosok yang
sangat introvert. Padahal sebelumnya aku adalah pribadi yang cukup terbuka
terhadap lingkungan sekitar, khususnya orang-orang terdekat dalam keluarga.Terjawab
sudah kejanggalan yang aku rasakan selama ini, saat beberapa minggu belakangan
menemukan istilah yang ramai disebut sebagai Toxic Positivity .
Lalu apa sebenarnya Toxic Positivitiy itu?.
Adalah sebuah tindakan menolak emosi negatif dan menutup diri terhadap hal-hal yang bersifat negatif. Toxic Positivity juga merupakan kondisi
dimana seseorang menuntut dirinya sendiri juga orang lain untuk selalu berfikir
dan bertindak positif hingga mengabaikan masalah juga perasaan yang sedang ia atau orang lain hadapi.
“Sabar aja, nanti juga selesai
masalahnya”
“Coba lebih bersyukur deh!, kamu
masih lebih beruntung dari orang-orang di luar sana”.
“Positif thinking aja, pasti ada
sisi baiknya kok”.
Pernah dengar semua ungkapan di
atas?, rasanya siapa pun mungkin pernah ya, entah itu dari orang lain secara
langsung kepada kita atau justru kita sendiri yang mengatakan hal-hal tersebut
kepada teman, sahabat atau keluarga yang kondisi hatinya sedang tidak baik.
Terkadang, menceritakan
masalah kepada orang yang kita percaya
menjadi solusi terbaik meski hal
tersebut dilakukan bukan untuk menemukan jalan keluar dari masalah yang tengah
dihadapi. Begitu juga mereka yang mempercayakan kita sebagai pendengar dari
setiap permasalahannya. Namun apakah mereka yang mendengar ungkapan tersebut
saat tertimpa masalah akan merasa lebih
lega, atau justru sebaliknya?. Jangan
sampai hal-hal positif yang kita sampaikan malah menjadi toxic bagi orang lain.
Tidak ada yang salah dengan
kalimatnya, justru apa yang diungkapkan adalah kalimat yang seharusnya juga
berdampak positif. Tapi mengabaikan perasan kita atau orang lain dengan dalih harus
selalu berfikir positif justru berdampak sebaliknya.
CIRI-CIRI TOXIC POSITIVIT
1. Saat sedih dan marah akan merasa bersalah
Ketika ingin
hidup lebih positif, seseorang akan berusaha melakukan hal-hal yang juga
positif dari mulai berfikir hingga berperilaku. Namun pada beberapa individu
hal ini berdampak pada timbulnya perasaan bersalah jika seseorang tersebut
memunculkan emosi negatif dalam dirinya. Perasaan bersalah tersebut yang
memungkinkan tumbuh menjadi tekanan bagi mereka yang tidak dapat melakukan
penerimaan terhadap emosi negatif yang dirasakan.
2. Menyangkal emosi negatif dalam dirinya.
Merasa harus
selalu berfikir dan bertindak positif sehingga seseorang harus selalu bahagia
dan mengabaikan perasaan sedih, kecewa, marah yang sejatinya ada pada setiap
manusia.
3. Mengabaikan perasaan orang lain
“Tenang, nanti juga lupa kok”
“Jangan terlalu difikirin, let it flow
aja”
“Sabar, kamu pasti bisa lewatin ini semua”
Dengan mudah
berkata demikian kepada orang lain tanpa memikirkan perasaan mereka, secara
tidak langsung menuntut orang tersebut untuk bersikap dan berfikir positif
padahal mereka perlu mengungkapkan emosi negatifnya.
DAMPAK TOXIC POSITIVITY
Dari
ciri-ciri toxic positivity kita tahu
bahwa itu pula dampak bagi mereka yang terlalu menekan dirinya untuk bersikap
dan berfikir positif. Sebuah hal yang diupayakan untuk menciptakan kondisi
lebih baik pada seseorang , akhirnya malah menjadi tekanan yang mengganggu seseorang
secara mental. Berusaha terlihat tegar padahal perasaan sebenarnya sangat kontradiktif
dengan hal tersebut. Merasa bersalah ketika muncul emosi-emosi negatif hingga
menjadi pribadi yang sangat introvert
karena malas bercerita untuk menghindari hal-hal bersifat negatif yang mungkin
dimunculkan.
Dari Journal of Personality & Sosial Psychologi dihasilkan kesimpulan dari sebuah penelitian bahwa, “Orang yang pada umumnya menolak emosi buruk/negatif, mereka pada akhirnya akan merasa tertekan secara psikologis.
CARA MENGHINDARI TOXIC POSITIVITY
- Terimalah setiap emosi negatif yang kapan pun bisa muncul dalam diri kita. Kelola dengan tepat tanpa menekan dan melakukan penolakan atasnya hanya karena ingin selalu bersikap positif. Sedih, marah, kecewa serta munculnya lintasan fikiran negatif adalah sesuatu yang sangat wajar terjadi pada setiap individu, tinggal bagaimana kita mengelola dengan tepat emosoi tersebut
- Akui bahwa kamu sedang tidak baik-baik saja, biarkan hati dan fikiranmu mengekspresikan perasaan yang sebenarnya. Stop berusaha dan pura-pura bahagia!. Jika tidak dapat mengungkapkan pada orang lain, terbukalah pada lingkungan sekitarmu, misal dengan mengungkapkan masalah dalam bentuk tulisan di buku harianmu.
- Hargai perasaan orang lain dan jangan memaksa mereka untuk selalu berfikir dan berperilaku positif.
Berfikir dan berperilaku positif
itu sangat penting, karena hidup yang positif dimulai dari fikiran yang juga
positif. Namun jangan mengabaikan segala bentuk perasaan negatif yang muncul
dalam diri. Untuk menjadi bahagia tidak selalu harus mengeneralisasikan
ekspresi bahagia pada setiap kondisi. Sedih, marah dan kecewa bukan hal buruk
yang harus tidak diakui keberadaannya. Menjadi bijaklah pada diri demi
kesehatan tidak hanya fisik tapi juga psikis kita.
Terhadap orang lain yang
mempercayakan kita sebagai pendengar dari setiap permasalahannya. Mari menjadi
pendengar yang baik, membangun sugesti positif yang lebih humanis dengan peka
terhadap apa yang mungkin mereka rasakan. Ajak mereka untuk menerima segenap
perasaan yang menyelimutinya. Barulah bantu
mereka melakukan pengelolaan tepat terhadap perasaannya agar tetap lebih
positif.