“Alhamdulillah, Garis 2”, diikuti smile emoticon disertai foto sebuah test pack sebagai penguatan atas ungkapan yang diunggah di sebuah status salah satu teman facebook.
“Ngidam rujak nih, bawaan utun”
“Janin sudah sebesar buah blueberry, strawberry atau nangka”, lengkap dengan emoticon lope-lope menimpa screenshoot sebuah aplikasi kehamilan. Video seorang memperlihatkan perut besarnya yang bergerak-gerak karena jiwa yang tengah aktif bergerak di dalamnya. Dan ungkapan-ungkapan kebahagiaan lain yang menghiasi insta story teman-teman sosial media saya.
Nyaris setiap hari saya menyaksikan pemandangan itu di sosial media. Sejujurnya, diawal-awal pernikahan merasa ikut bahagia dengan kehamilan teman-teman saya, terlebih ketika tahu salah satu sahabat juga mengalami itu. Bahagia bukan main, rasanya ada atmosfir untuk berfikir positif bahwa tidak akan lama lagi giliran saya yang mengalami kehamilan.
Kondisi itu berlangsung hingga sekitar 6 bulan pernikahan, sampai semua berubah menjadi kesedihan mendalam saat setiap test pack yang saya beli tidak sama sekali menunjukkan 2 garis merah seperti yang teman-teman saya dapatkan.
Berminggu-minggu menunggu kabar baik hadirnya janin dalam Rahim, dan tibalah saya pada masa menstruasi yang rutin datang secara teratur tanpa masalah, pecahlah tangisan jika saat itu tiba. Melewati minggu menginjak bulan hingga akhirnya berbulan-bulan kondisi tersebut menghiasi hari-hari.
Kesedihan semakin mendalam, karena di tengah penantian banyak pertanyaan dan pernyataan tentang kehamilan yang saranya agak menyudutkan kita sebagai perempuan. Di tambah teman-teman sosial media yang memperlihatkan kebahagian atas kehamilan yang sudah lebih dulu mereka alami. Lengkap sudah rasanya kesakitan itu.
Sebuah aktifitas wajar yang dilakukan mereka sebagai ungkapan kebahagian atas nikmatnya menjadi calon ibu dengan beragam perubahan psikologis yang mereka alami. Tanpa mereka sadari bahwa sesuatu yang biasa mereka lakukan di sosial media, bagi sebagian orang adalah kesakitan yang teramat di dunia nyata. Rasanya kian hari kian abu – abu, warna kehidupan sedikit demi sedikit terurai dalam kesakitan. Setiap kali membuka instagram, facebook atau whatsapp ada kengerian yang membuat penasaran. Saya tahu meihat story mereka hanya akan menimbulkan kesakitan, tapi entah kenapa dorongan untuk membuka apa yang mereka bagikan selalu menjadi pilihan terakhir dengan resiko terbesar membuat hati berdebar menahan kekecewaan.
Kamu mungkin mengalami juga hal itu???.
Menyakitkan bukan???
Lalu apa yang salah???, kenapa itu semua terasa sangat menyakitkan??. Teman sosial media seperti musuh besar di tengah penantian buah hati?. Apa yang mereka bagikan seperti racun mematikan. Mematikan senyuman dan kebahagian karena satu hal bernama kehamilan.
***
Saya tertarik merenungkan, apa dan siapa yang salah?, siapa yang bertanggung jawab terhadap kesakitan yang menimpa saya. Dan dari perjalanan merenungkan semua itu saya faham bahwa seluruhnya adalah tanggung jawab saya dan bukan kesalahan siapapun.
Sosial media adalah tempat kedua bagi setiap individu dalam menjalani kehidupan mereka secara pribadi. Benar, sama halnya dengan kehidupan nyata yang walaupun kita hidup berdampingan dengan banyak orang hakikatnya kita sendiri yang menjalani dan menentukan akan diapakan kehidupan tersebut, akan dibagi dengan siapa dan apa saja hak-hak yang kita miliki.
Jadi,menggunakan sosial media sepenuhnya menjadi hak setiap individu. Mereka tidak salah ketika membagikan berita dan kondisi kehamilan mereka di sosial media. Mereka tidak salah show up tentang apapun yang mereka alami selama proses kehamilan. Mereka tidak salah dengan sebanyak apapun insta story tentang kehamilan yang mereka buat setiap harinya. Tidak ada yang salah dengan mereka.
Kita juga tidak salah, tentu sebagai manusia biasa ada sisi lemah yang membuat kita lebih sensitif terhadap sesuatu yang menyentuh hati. Termasuk ketika kita melihat apa yang kita inginkan belum kita peroleh sementara orang lain dengan bahagia membagi apa yang sudah mereka dapatkan.
Tapi kita tentu bertanggung jawab dan punya andil besar untuk mengendalikan diri kita sendiri. Bagaimana agar apa yang kita lihat dan dengar , walaupun menyakitkan tetap terasa menyenangkan. Tidak perlu merasa menjadi korban tatkala menyaksikan teman-teman sosial media show up kebahagiaan mereka terkait kehamilan. Kita tidak pernah tau apa yang sebenarnya terjadi kepada mereka. Sebahagia apapun seseorang di sosial media, mereka tetap saja menyimpan permasalahan yag hadir di kehidupan nyata.
Selama kita masih merasa bahwa sosial media adalah sebuah kebutuhan, masih ingin menggunakannya, gunakanlah dengan bijak dan mulailah berdamai dengan apa yang mungkin kita lihat disana. Rasanya menjadi tidak perlu menyalahkan siapapun, tidak perlu merasa tersakiti dan tidak perlu berfikir bahwa mereka adalah musuh terbesar dalam penantian. Lagi-lagi menata hati menjadi pilihan terbaik untuk menyayangi diri kita dengan membiarkannya selalu dalam kondisi bahagia.
Tetap semangatttttt, jangan berhenti berdo’a dan berusaha, Allah paling tau kapan waktu terbaik menghadirkan buah hati dalam kehidupan kita. Mari sama-sama belajar menerima dan ridho dengan apa yang Allah hadapkan pada kita dan kehidupan yang tengah kita jalani.
No comments:
Post a Comment