Cita-citaku
ketika menginjak usia 4 tahun adalah menjadi seorang pramuniaga. Menjadi kasir
sebuah supermarket besar yang setiap hari bergelut dengan CPU, LCD,
printer kasir, cash drawer, dan yang paling aku suka adalah barcode
scanner.
Saat
itu tahun 1997, melihat aktifitas semacam itu di gedung pertokoan yang berbeda
dari biasanya membuat ku terkagum dengan bagaimana cara pembelian yang juga
tidak biasa. Sebuah alat yang ternyata bernama barcode scanner itu selalu
menjadi memori yang membangun
motivasi untuk bisa menggunakannya dikemudian hari.
Ibuku
memiliki toko kelontong yang paling lengkap kala itu, tidak hanya berbagai
kebutuhan pokok yang di tawarkan, ibu juga menjual aneka sayuran dan
buah-buahan. Kondisi tersebut memberi peluang bagi anak-anaknya untuk nengeksplorasi segala yang
ada di dalam toko kami.
Aku
paling senang mengsimulasikan bagaimana seorang kasir bekerja dengan alat
bernama barcode scanner itu, dan kakaku adalah pembelinya.
Terselip
cerita menarik dibalik kesenangan bermain peran sebagai seorang kasir dan pembeli. Walaupun aku
berperan sebagai orang dewasa yang mencintai pekerjaannya sebagai kasir sebuah
supermarket, aku tetaplah seorang anak
berusia 4 tahun yang selalu hadir dengan jiwa kekanak-kanakannya. Egosentris,
manja dan pecinta jajanan khas anak-anak, luar biasanya ibuku menjual banyak
jajanan itu.
Di
sela bermain peran, satu demi satu ku ambil jajanan favoritku yaitu jelly aneka
rasa. Ibu menyimpannya dalam sebuah stoples plastik transparan yang membuatku
selalu tergoda dengan kesegaran yang ditawarkan melalui warna warni jelly yang
menawan.
Satu
demi satu, hingga stoples berada dalam dekapan, kemasan jelly yang sudah
berserakan dan sisa jelly dalam stoples yang jumlahnya kini dapat terhitung jari.
Menurut ibu, aku menghabiskan semua jelly kurang dari 30 menit hingga
benar-benar tak ada yang tersisa di dalam stoples. Dan momentum itu selalu
menjadi cerita menarik hingga aku beranjak dewasa. Tidak hanya aku dan ibu,
kakak-kakaku juga menyebutku “Si Tukang Ngabisin Sestoples Jellly”. Bahkan hingga hari ini, jika melihat stoples plastik transparan apalagi di dalamnya terdapat jelly, ingatanku selalu tertuju pada kisah masa lalu itu.
Aku
tidak berfikir apakah ibu akan rugi jika aku menghabiskan semuanya?. Aku tidak
mengerti bahwa dalam berniaga ada
prinsip untung dan rugi yang menjadi fokus utama dalam menjalaninya. Tapi
terlepas dari itu semua aku yakin ibu tidak pernah merasa dirugikan dengan apa
yang aku lakukan kala itu.
Belakangan
aku benar-benar tau bahwa selama bertahun-tahun ibuku menjalani bisnisnya, ia
hanya berfokus pada bagaimana agar ia dan keluarga tidak kesulitan, setidaknya dalam pemenuhan
kebutuhan pangan. Entah apakah terfikir bahwa ia untung ataukah rugi.
Ibu emang is the best, ini novi pakai akun suami. naha ya buka di laptop akunnya suami.
ReplyDeletemamah said: kamarana ieu etoples jelly?... :)
ReplyDelete