www.google.com |
Delapan
bulan belakangan perhatian kita tak luput dari seruan untuk tetap waspada
akan bahaya penyebaran Covid-19. Sebuah
virus yang di Indonesia sendiri mulai di temukan kasusnya pertama kali pada 2
Maret 2020. Setelah itu di temukan lebih banyak kasus hingga memakan banyak
pula korban jiwa.
Dilansir dari Kompas.com, tercatat keseluruhan kasus positif Covid-19 di Indonesia mencapai 9.511 orang pada 28/4/2020, memasuki bulan ke 2 sejak
kasus pertama Covid-19 terkonfirmasi di Indonesia. Hal ini tentu semakin mengundang keresaha masyarakat akan begitu cepatnya virus ini dapat menyebar. Di
samping itu, banyak yang berubah
semenjak Covid-19 datang, menciptakan keresahan karena semakin marak tercatat
korban berjatuhan. Tangis kehilangan hingga berita kengerian terkait penanganan
bagi penderita dan korban jiwa, yang terpaksa tidak manusiawi di karenakan
segala keterbatasan. Kutan Di samping
kebenaran, berita-berita hoax menambah ketakutan masyarakat akan bahaya
Covid-19.
Dampak
yang di timbulkan berlaku bagi setiap kalangan, tidak hanya bagi satu atau dua
kelompok saja, namun masyarakat di seluruh dunia merasakannya. Bertarung dengan
fakta bahwa seluruh aspek kehidupan dihadapkan pada keketakutan dan
ancaman. Dampak yang dirasakan pun
beragam, mulai dari munculnnya permasalahan-permasalahan sosial hingga
perekonomian Negara yang mengalami pemerosotan.
Sektor
pendidikan pun demikian halnya sektor-sektor lainnya, mengalami penurunan
efektifitas dalam pelaksanaannya. Seperti yang kita tau setelah Indonesia resmi
dinyatakan terpapar Covid-19 , beberapa daerah mulai memberlakukan PSBB yang
secara otomatis menghadapkan sektor pendidikan untuk menghentikan sementara aktifitas belajar
mengajar.
Pembelajaran
di alihkan ke rumah dengan sestem daring melalui berbagai media digital.Siswa
dan guru tidak diperbolehkan melakukan tatap muka untuk memutus mata rantai
penyebaran Covid-19. Dirumahkannya sekolah yang semula hanya
berlangsug selama 2 minggu semenjak di tetapkan, pada akhirnya mengalami
perpanjangan hingga kini memasuki bulan ke delapan. Sampai saat ini pun belum
ada kepastian terkait kapan kita akan kembali ke sekolah.
Dengan
profesiku sebagai seorang guru sebuah Rudhatul Athfal, dampak covid-19 sangat
kentara dan begitu terasa. Hilangnya rutinitas pagi menyambut senyum
anak-anak, bernyanyi bersama dan mengukir
cerita-cerita menarik bersama jiwa-jiwa paling jujur di muka bumi.
Secara psikologis tentu ini sangat mempengaruhi kondisi psikis ku, kehilangan
rutinitas yang sejauh ini terasa paling menyenangkan tiba-tiba menghilang
hampir satu tahun lamanya.
Adapun
dampak-dampak paling di rasakan aku sebagai seorang guru karena ada nya pandemi
Covid-19 ini diantaranya adalah:
- 1. Menciptakan
kerinduan
Pandemi yang mengharuskan siapapun tetap berada di rumah, menghentikan beragam aktifitas di luar rumah. Kegiatan belajar mengajar di sekolah yang hingga saat ini belum menemukan titik terang kapan siswa dan guru dapat kembali ke sekolah. Kerinduan pun semakin meyeruak, rindu akan tawa dan canda anak-anak di dalam kelas, suasana riuh di lingkungan sekolah. Momentum-momentum lain dari yang terkecil seperti halnya melihat pemandangan pagi ketika anak-anak berlalu lalang pergi ke sekolah pun sangat dirindukan. Sebagai seorang yang lekat dengan dunia pendidikan aku merasa benar benar perlahan semakin jauh dari rutinitas itu. Proses belajar mengajar melalui daring sangat memiliki atmosfir yang berbeda jauh dengan pembelajaran secara tatap muka dan itu agak menyulitkan.
- 2. Jenuh
Bukan judul lagu ya Webers, tak bisa dipungkiri bahwa daring ternyata tak hanya membuat para emak-emak jadi emosi. Guru pun dibuat bingung dengan pembelajaran yang serba virtual. Apalagi pergerakan yang di batasi oleh sega bentuk keluhan siswa dan orangtua, mulai dari susah sinyal, koneksi yang tiba-tiba memburuk saat di tengah pembelajaran, hingga siswa juga orang tua yang sama sekali tidak memiliki fasilitas untuk belajar dengan sistem daring.
Yang aku rasakan, semua membentuk kejenuhan yang berangsur semakin menurunkan semangat mengajar. Tanpa tatap muka aku sulit mengekspresikan maksud serta tujuan pengajaran terhadap anak. Terlebih yang aku tangani adalah Anak Usia Dini, sejatinya mereka belum mampu belajar sendiri, amat sangat masih memerlukan pendampingan orang tua. Terkadang merasa lelah dengan kondisi saat ini, dan masih sangat manusiawi.
- 3. Menurunkan
semangat mengajar
Seperti yang sebelumnya dikatakan terkait penurunan semangat dalam mengajar. Fakta yang sedang di hadapi saat ini benar benar keluar jauh dari hakikat belajar mengajar di sekolah. Bayangkan saja bagaimana di sekolah tempatku mengajar, sama sekali tidak dapat mengaplikasikan KBM dalam bentuk virtual dengan memanfaatkan fasilitas zoom atau google meets, karena keterbatasan orang tua yang pada dasarnya berstatus sosial menengah ke bawah.
Kami hanya menggunakan whatsapp group sebagai media utama. Tahapan pembelajaran yang dilakukan adalah dengan mengirim rangkaian tugas anak untuk kemudian di kerjakan bersama orang tua di rumah. Kemudian orang tua akan mengirim foto serta video selama pembelajaran, lalu di lanjutkan dengan penilaian dan reward yang di sampaikan di grup yang sama, entah di ketahui anak atau tidak wallahualam.
Itu hanya sebagian dampak yang paling aku rasakan sebagai seorang guru atas hadirnya Covid-19 di tengah-tengah kami. Mungkin WBers yang juga berprofesi sebagai guru punya cerita dan pengalaman lain yang dirasakan secara langsung. Yang terpenting dan selalu berusaha aku lakukan adalah terus berfikir positif, berdamai dengan fakta yang tengah di hadapi serta senantias mensyukuri sekecil apapun nikmat yang sampai, karena sesungguhnya itu bentuk kasih sayang Allah terhadap kita.
Semoga teman
–teman WBers terutama kalian yang juga berprofesi sebagai seorang guru. Senantiasa
mendapat berkah juga kebaikan dalam setiap langkah yang dilakukan secara
positif. Aamin……
Covid membuat kita menabung rindu yaa
ReplyDelete